Oleh Yohanes DBR Minggo

(Mahasiswa Doktoral Teknologi Perikanan Laut IPB/Dosen Universitas Nusa Nipa Maumere)

Kesejahteraan nelayan merupakan salah satu prioritas utama dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional, khususnya di wilayah pesisir yang secara historis dan struktural menggantungkan mata pencaharian pada sektor perikanan tangkap. Dalam konteks tersebut, kehadiran negara melalui peran aktif pemerintah daerah menjadi krusial untuk menjamin bahwa nelayan mampu menjalankan aktivitas ekonomi secara legal, efisien, dan berkelanjutan.

Namun demikian, realitas empirik menunjukkan adanya ketimpangan antara tujuan normatif kebijakan dengan praktik implementatif di lapangan. Kasus batalnya proses lelang kapal nelayan jenis pole and line milik Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur menjadi ilustrasi konkret yang menggambarkan lemahnya tata kelola aset milik daerah. Persoalan ini tidak hanya memicu polemik sosial, tetapi juga berkontribusi langsung terhadap terhambatnya kegiatan ekonomi nelayan, yang pada akhirnya memperparah kondisi kesejahteraan mereka.

Mengacu pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, sektor perikanan dinyatakan sebagai salah satu pilar strategis pembangunan nasional. Di dalamnya termuat mandat negara untuk melindungi dan memberdayakan nelayan, khususnya nelayan tradisional yang menjadi aktor utama dalam ekonomi kelautan.

Akan tetapi, komitmen ini kehilangan daya guna apabila sarana produksi seperti kapal bantuan tidak dapat dioperasikan akibat kendala legalitas dan dokumen yang tidak diperbarui. Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah memberikan arahan normatif bahwa pemanfaatan aset negara/daerah harus dilakukan secara efisien, transparan, akuntabel, dan tepat sasaran. Artinya, pengelolaan kapal bantuan tidak boleh berhenti pada aspek administratif atau pemeliharaan fisik semata, melainkan harus berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan nelayan. Kapal tersebut sejatinya merupakan instrumen strategis untuk memperluas akses terhadap sumber daya laut serta memperkuat posisi tawar nelayan dalam rantai nilai perikanan.

Kegagalan dalam memperbarui dokumen dan izin kapal tidak hanya mencerminkan kelemahan administratif, melainkan juga menunjukkan adanya kegagalan struktural dalam pengelolaan aset publik. Ketika kapal tidak beroperasi, nelayan kehilangan akses terhadap alat produksi, yang berujung pada berkurangnya pendapatan harian, meningkatnya pengangguran terselubung, dan melemahnya ketahanan ekonomi keluarga nelayan.

Dalam kondisi ini, ketergantungan terhadap bantuan sosial pun meningkat, yang secara paradoks justru bertentangan dengan prinsip pemberdayaan. Lebih lanjut, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa urusan kelautan dan perikanan merupakan bagian dari kewenangan daerah, sesuai prinsip otonomi daerah dan tanggung jawab terhadap penyediaan layanan publik. Dengan demikian, Pemerintah Daerah Flores Timur memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk menjamin bahwa kapal bantuan benar-benar dapat digunakan oleh kelompok nelayan dan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan mereka.

Gagalnya proses lelang dan tidak diperbaruinya izin operasional kapal menjadi indikator ketidakefektifan pelayanan publik serta lemahnya mekanisme pengawasan internal dalam sistem pemerintahan daerah. Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis dan sistematis dari Pemerintah Daerah Flores Timur untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur pengelolaan aset perikanan, serta memastikan penyelesaian segera terhadap persoalan legalitas kapal. Jika tidak ditindaklanjuti secara cepat dan tepat, maka aset tersebut hanya akan menjadi beban pasif dalam sistem anggaran daerah, sementara nelayan tetap berada dalam lingkaran ketidakpastian ekonomi dan kemiskinan struktural.

Urgensi Koordinasi antara Pemda dan Dinas Perikanan Provinsi

Kapal bantuan jenis pole and line yang tidak dapat dioperasikan oleh nelayan di Kabupaten Flores Timur merupakan indikator serius dari lemahnya tata kelola pelayanan publik di sektor perikanan. Dalam konteks Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, negara berkewajiban untuk menyediakan pelayanan yang berkualitas, adil, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti nelayan tradisional. Ketika bantuan pemerintah berupa kapal tidak dapat dimanfaatkan karena ketiadaan dokumen legal, maka yang dirugikan adalah nelayan karena tidak dapat mengakses sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Masalah administratif semacam ini tidak bisa lagi dipandang sebagai isu teknis biasa, melainkan sebagai hambatan struktural terhadap realisasi keadilan sosial dalam pelayanan publik.

Ketiadaan legalitas operasional kapal tidak hanya menunda aktivitas penangkapan ikan, tetapi juga memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sangat bergantung pada sektor perikanan. Di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit, jika nelayan tidak diberikan akses untuk melaut maka akan berdampak pada hilangnya pendapatan harian untuk kebutuhan hidup. Ketidakpastian ini meningkatkan risiko kemiskinan. Oleh karena itu, pelayanan publik tidak bisa berhenti pada pemberian aset fisik, tetapi harus memastikan bahwa seluruh aspek operasionalnya telah terpenuhi agar benar-benar berdampak nyata bagi penerima manfaat.

Permasalahan ini juga mencerminkan belum optimalnya koordinasi antara Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang seharusnya menjadi kunci dalam percepatan penyelesaian perizinan kapal. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan kelautan dan perikanan merupakan salah satu kewenangan yang dibagi antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Maka dari itu, penanganan administrasi seperti perizinan kapal perikanan memerlukan kolaborasi aktif antar level pemerintahan. Tanpa koordinasi yang kuat, birokrasi akan menjadi penghambat, dan pada akhirnya menghambat produktivitas sektor perikanan daerah secara keseluruhan. Untuk itu, Pemerintah Daerah Flores Timur perlu mengambil langkah proaktif melalui pembentukan tim lintas sektor yang fokus pada percepatan legalisasi kapal bantuan.

Inisiatif ini dapat mencakup percepatan pemrosesan dokumen, koordinasi teknis dengan instansi provinsi, serta penyusunan prosedur operasional standar baru yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan lapangan. Tidak menutup kemungkinan pula diterapkannya kebijakan diskresi atau pemberian izin sementara bagi nelayan agar kapal dapat digunakan sembari proses legalitas formal terus berjalan. Strategi seperti ini penting demi mencegah terjadinya aset mangkrak yang justru membebani keuangan daerah dan mencederai rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Secara lebih luas, penguatan koordinasi antarlembaga tidak hanya akan mempercepat penyelesaian permasalahan legalitas kapal, tetapi juga menjadi pondasi penting dalam reformasi tata kelola aset publik yang lebih efektif, partisipatif, dan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan memberikan kepastian hukum dan pelayanan publik yang responsif, pemerintah daerah tidak hanya menjalankan mandat konstitusionalnya, tetapi juga memperkuat legitimasi sosial di mata rakyat. Dalam konteks ini, keberhasilan pengoperasian kapal bantuan tidak semata menjadi indikator teknis, tetapi juga simbol dari hadirnya negara dalam menjawab kebutuhan paling mendasar masyarakat.

Melindungi Hak Nelayan melalui Tindakan Konkret

Nelayan, khususnya nelayan tradisional, merupakan kelompok masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap keberfungsian alat produksi utama, yaitu kapal perikanan dan izin penangkapan ikan, dalam menjamin keberlangsungan ekonomi keluarga mereka. Ketika operasional kapal mengalami hambatan, baik disebabkan oleh permasalahan administratif maupun keterlambatan dalam penerbitan izin, dampaknya secara langsung menurunkan tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan. Oleh karena itu, perlindungan terhadap hak-hak nelayan harus menjadi prioritas dalam implementasi kebijakan pengelolaan perikanan. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yuridis dan moral untuk mendukung sektor perikanan secara optimal serta menjamin terpenuhinya hak-hak nelayan dalam mengakses sumber daya laut secara legal dan berkelanjutan.

Langkah awal yang perlu segera dilakukan adalah penyelesaian persoalan dokumen kapal yang menjadi penghambat utama dalam proses penerbitan izin penangkapan ikan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur perlu membangun mekanisme koordinasi yang intensif dan efektif dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi guna mempercepat proses administrasi yang tertunda. Sebagai institusi yang memiliki kewenangan regulatif, Dinas Perikanan Provinsi diharapkan dapat segera mengeluarkan izin yang diperlukan agar nelayan dapat kembali menjalankan aktivitas penangkapan ikan tanpa keterlambatan lebih lanjut.

Penundaan dalam pemberian izin tidak hanya berimplikasi pada hilangnya pendapatan harian nelayan, tetapi juga berpotensi memperburuk kondisi kemiskinan di wilayah pesisir. Jika permasalahan administratif bersifat kompleks dan tidak dapat diselesaikan secara instan, maka dibutuhkan kebijakan alternatif yang bersifat temporer namun strategis. Salah satu opsi kebijakan yang dapat diambil adalah penerbitan izin operasional sementara bagi kapal nelayan yang terdampak, sehingga mereka tetap dapat melaut sambil menunggu proses penyelesaian administrasi yang bersifat definitif. Langkah ini penting untuk mencegah stagnasi aktivitas ekonomi nelayan serta mempertahankan stabilitas sosial masyarakat pesisir.

Dengan demikian, tindakan nyata yang cepat, terukur merupakan syarat mutlak untuk menjamin keberlangsungan aktivitas ekonomi nelayan. Kebijakan yang responsif dan berpihak pada kepentingan nelayan akan mendukung ketahanan ekonomi pesisir, memperkuat kontribusi sektor perikanan terhadap pembangunan daerah, serta memastikan bahwa bantuan pemerintah tidak menjadi aset yang terbengkalai, melainkan instrumen pemberdayaan yang menghasilkan manfaat konkret bagi masyarakat dan negara.»

Tags:FLORES TIMUR