Maumere, GardaFlores—Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden SVD, menegaskan sikap menolak kehadiran proyek geothermal di wilayah Keuskupan Agung Ende. Penolakan ini merupakan respons terhadap keluhan umat dan hasil investigasi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga, termasuk JPIC OFM Indonesia.
Pernyataan sikap itu disampaikan melalui rilis pers yang diterima media ini pada Kamis, (23/1/2025).
Mgr. Budi Kleden menyatakan bahwa proyek geothermal tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat sekitar, malah sebaliknya, dapat menimbulkan berbagai masalah bagi mereka.
Baca juga:
Kejari Sikka Selidiki Dugaan Korupsi di Tiga Unit BRI Cabang Maumere
“Kehadiran proyek geothermal lebih banyak membawa petaka ketimbang manfaat bagi masyarakat,” kata Uskup Agung Ende dalam pernyataan tertulisnya.
Sikap Uskup Budi Kleden yang disampaikan pada 6 Januari 2025 tersebut mendapatkan respons pro dan kontra dari masyarakat luas. Namun, JPIC OFM Indonesia, yang selama ini mendampingi masyarakat di sekitar proyek geothermal, menyatakan dukungannya terhadap sikap Uskup Agung Ende.
P. Yansianus Fridus Derong OFM, Direktur JPIC OFM Indonesia, menyampaikan bahwa keputusan ini didasarkan pada hasil investigasi dan advokasi yang telah dilakukan selama lebih dari delapan tahun bersama masyarakat yang terdampak.
Baca juga:
Pusat Jajanan dan Cinderamata Maumere Terabaikan, Edomeko: Kami Masih Tunggu Dana
Dukungan tersebut mencerminkan seruan pastoral Gereja yang lebih mengutamakan kesejahteraan manusia dan ekologi ketimbang aspek bisnis dan teknologi dalam proyek geothermal. “Cerita dan keluh kesah masyarakat yang terdampak sudah cukup bagi seorang gembala umat untuk mengambil sikap tegas,” ujar Yansianus.
JPIC OFM Indonesia menilai bahwa proyek geothermal di Flores bukan hanya soal pemenuhan kebutuhan energi dan transisi energi, tetapi juga menyangkut dampak sosial, budaya, ekonomi lokal, hak-hak ekosob masyarakat, serta keberlanjutan hidup mereka.
Pihak keuskupan juga mengkritik buruknya perencanaan proyek geothermal, terutama yang melibatkan PLN, yang dinilai tidak serius dalam menangani masalah yang muncul, seperti yang terjadi pada proyek geothermal Daratei Mataloko, Kabupaten Ngada, 20 tahun lalu.
Baca juga:
Gerakan Penanaman Jagung Sejuta Hektar Secara Simbolis Dilakukan di Desa Nelle Barat
Kasus Mataloko, di mana kegagalan pengeboran menyebabkan kebocoran lumpur dan gas panas yang berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, menjadi contoh buruk dalam tata kelola proyek geothermal di Flores. Keuskupan Agung Ende mendesak pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, untuk mencabut SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/MEM/2017 yang menetapkan Pulau Flores sebagai “Pulau Panas Bumi” atau Geothermal Island.
Sebagai alternatif, JPIC OFM Indonesia menilai bahwa energi matahari, angin, dan arus laut memiliki potensi yang lebih besar dan lebih aman dibandingkan dengan geothermal dalam memenuhi kebutuhan energi di Pulau Flores.
Dengan penolakan ini, Uskup Agung Ende dan JPIC OFM Indonesia mengingatkan bahwa keberlanjutan hidup masyarakat serta perlindungan terhadap ekosistem harus menjadi prioritas utama dalam perencanaan proyek energi di kawasan tersebut.»
(rel)