Maumere, GardaFlores – Hakim Pengadilan Negeri (PN) Maumere menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dan denda Rp 200 juta kepada Yuvinus Solo alias Joker. Ia terbukti terlibat dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan pelanggaran Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Demikian putusan yang dibacakan akhir pekan lalu di Pengadilan Negeri Sikka.

Vonis ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut agar Joker dihukum dengan 9 tahun penjara.

Majelis hakim yang diketuai oleh Nithanael Nasyum Ndaumanu, SH., MH., dengan anggota Mira Herawaty, SH., MH., dan Widyastomo Isworo, SH., menyatakan bahwa terdakwa terbukti melanggar Pasal 186 ayat (1) Jo Pasal 35 ayat (2) dan (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus ini melibatkan sembilan warga dari Desa Galit, Kecamatan Mapitara, Kabupaten Sikka, yang hendak bekerja di perkebunan sawit PT Borneo Citra Persada Abadi (BCPA) di Kalimantan.

Dalam putusannya, majelis hakim menilai Joker terbukti bersalah karena turut serta dalam pelaksanaan penempatan tenaga kerja yang tidak memberikan perlindungan kepada para pekerja, baik pada tahap perekrutan hingga penempatan mereka. Joker juga diketahui memberikan dana untuk akomodasi dan konsumsi para pekerja tersebut.

Kuasa hukum Joker, Domi Tukan, SH., dan Alfons Hilarius Ase, SH., MHum., menilai bahwa putusan tersebut tidak logis dan bertentangan antara pertimbangan hukum dan kesimpulan yang diambil.

Baca juga:
Sidang Kasus Dugaan Penyerobotan Tanah HGU PT Krisrama, PPMAN Apresiasi Proses Persidangan di PN Sikka

Alfons Ase menjelaskan bahwa Pasal 35 ayat (2) dan (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatur hubungan antara pemberi kerja dan pelaksana penempatan tenaga kerja, yang menganggap Joker sebagai sub-ordinat pemberi kerja. Oleh karena itu, menurutnya, harus dibuktikan siapa pihak yang memberikan kuasa kepada Joker dalam hal penempatan tenaga kerja.

Alfons juga menyampaikan bahwa dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang mengatur tentang turut serta dalam tindak pidana, seharusnya ada pelaku utama selain Joker. Namun dalam kasus ini, Joker adalah satu-satunya tersangka yang ditetapkan, sehingga menurutnya, tidak ada pelaku utama yang bisa membenarkan tuduhan terhadap Joker sebagai pelaku turut serta.

Sementara itu Domi Tukan mengkritisi kesaksian yang digunakan dalam persidangan. Menurutnya, meskipun hakim mengutip kesaksian saksi Petrus Arifin, yang menyebut Joker sebagai pihak yang merekrut para pekerja, tidak ada bukti konkret yang mendukung pernyataan tersebut.

Selain itu, dia juga menyatakan bahwa keterangan saksi tentang kondisi pekerja yang terlantar dan kekurangan makanan di Kalimantan bersifat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena saksi Valens Pogon hanya mendengar cerita dari orang lain.

Baca juga:
PPMAN Tanggapi Pernyataan Kuasa Hukum PT Krisrama

Domi juga mempertanyakan mengapa PT BCPA, perusahaan yang mempekerjakan para korban, tidak pernah dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan, meskipun keterlibatan perusahaan tersebut sangat penting untuk pembuktian hubungan hukum antara Joker dan pihak pemberi kerja.

Dalam perkembangan lainnya, majelis hakim menyatakan bahwa Petrus Arifin harus bertanggung jawab atas kematian salah satu pekerja, Yodimus Moan Kaka. Arifin terbukti menandatangani surat yang menolak rujuk dari dokter Klinik Puskesbun PT BCPA, yang menyarankan agar Yodimus dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lanjutan. Yodimus yang saat itu sedang sakit, memilih untuk pulang ke kampungnya meskipun mendapat peringatan bahwa keputusannya tersebut bisa berakibat fatal. Hakim menilai bahwa tindakan Arifin dalam menandatangani surat penolakan rujukan itu sebagai bentuk kelalaian yang mengarah pada kematian korban.»

(rel)

Tags:JokerMira HerawatyNithanael Nasyum NdaumanuPENGADILAN NEGERI MAUMERETindak Pidana Perdagangan OrangWidyastomo IsworoYUVINUS SOLO