Maumere, GardaFlores — Tugas teologi adalah mencari pemahaman tentang iman di hadapan publik. Hal ini dapat menjadi titik awal untuk hidup bersama dengan Tuhan di tengah dunia yang semakin sekuler ini.
Demikian dikemukakan Profesor Teologi Fundamental dari Universitas Katolik Leuven, Belgia dalam Konferensi Internasional tentang Teologi Publik di Kampus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, Jumat (27/9/2024).
Pada kesempatan tersebut, Prof. Stephan memaparkan materi berjudul “Living with the Hidden God: The Sacramentality of Public Life” (Hidup dengan Tuhan yang Tersembunyi: Sakramentalitas Kehidupan Publik).
Menurutnya, di dunia sekuler seperti sekarang ini, iman sering kali dilupakan ketika manusia mengalami berbagai macam masalah dalam hidupnya. “Jika teologi mencari pemahaman tentang iman umat, maka hal itu bisa menjadi titik awal untuk hidup bersama Tuhan di tengah dunia yang sekuler,” katanya.
Prof. Stephan juga menambahkan bahwa sakramen-sakramen merupakan wujud nyata kehadiran Allah yang menyelamatkan di tengah dunia. Karena itu, Gereja dan teologi memiliki tugas untuk mewujudkan pesan Tuhan yang lebih relevan dalam masyarakat dewasa ini.
“Gereja dan teologi tidak menyampaikan pesan Tuhan kepada dunia, namun berkumpul dan berusaha untuk mewujudkan pesan janji Tuhan yang sudah ada di tengah masyarakat,” katanya.
Prof. Stephan yang juga editor jurnal internasional Concilium menjelaskan bahwa teologi publik merupakan cara umat Kristiani membangun komunikasi dengan pihak-pihak lain yang ada di luar Gereja. Hal ini berarti bahwa teologi merupakan upaya untuk membuat teologi menjadi relevan di ruang yang lebih luas, namun dengan risiko kehilangan nuansa dan kedalaman keyakinan tradisional.
“Metode ini menampilkan dirinya sebagai ‘teologi publik’ karena ia mengaku menggunakan bahasa yang umum digunakan, mengkomunikasikan keyakinan yang diterima secara luas dan bukan, misalnya, keyakinan tradisional.,” katanya.
Sementara itu, Mgr. Dr. Paulus Budi Kleden SVD mengatakan bahwa mendengarkan Tuhan juga bisa bertolak dari orang-orang yang mengalami pengalaman keterlukaan. Pengalaman keterlukaan dapat melahirkan solidaritas yang kemudian dapat dikembangkan untuk menjadi politik perdamaian. Pengalaman keterlukaan itu adalah suatu hal yang menantang sekaligus mendewasakan manusia.
Uskup Agung Ende ini dalam pemaparannya mengajak peserta konferensi untuk merefleksikan kerahiman Tuhan dan menerima dengan besar hati kenyataan keterlukaan peristiwa gempa bumi dan tsunami di Maumere Desember 1992 silam. Pengalaman keterlukaan juga direfleksikan dalam puisi “Aku” dari Chairil Anwar.
“Teologi juga lahir karena situasi keterlukaan yang dialami oleh manusia dan kemudian merefleksikan keterlibatan Tuhan dalam kondisi tersebut sambil berjuang keluar dari situasi keterlukaan itu,” kata mantan Superior General SVD itu.
Pada sesi diskusi yang dipandu Dr. Wilybaldus Gaut, salah seorang pembicara kunci, Prof. Dr. F. X. Eko Armada Riyanto, mengajukan pertanyaan tentang apakah etika masih dibicarakan berhadapan dengan peristiwa seperti G-30 S/PKI dan Aushwitz.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Mgr. Budi Kleden menjelaskan bahwa berhadapan dengan pengalaman keterbukaan seperti itu, diskursus tentang etika masih dapat didiskusikan secara terbuka termasuk di lingkungan akademis. IFTK Ledalero pernah mendiskusikan dan menerbitkan buku tentang pengalaman keterlukaan seperti G-30 S/PKI.
Mantan Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Dr. Mery Kolimon, juga menyampaikan bahwa dia dan beberapa teman pernah menerbitkan buku Memori-Memori Terlarang yang berisikan juga pengalaman keterlukaan dari para korban peristiwa tahun 1965. “Apakah teologi publik bisa menyembuhkan luka para korban seperti pada peristiwa 1965 di Indonesia?” tanya Dr. Mery.
Menjawab pertanyaan tersebut, Mgr. Budi Kleden menekankan bahwa kita harus membangun kreativitas dan kepekaan dengan melihat, meningkatkan, dan menyuarakan penderitaan para korban. Hal yang dapat dilakukan ialah dengan berkontribusi terhadap kebaikan korban dan saling bekerja sama antaragama untuk terus membangun solidaritas.
Konferensi ini diikuti oleh para dosen dan mahasiswa IFTK Ledalero dan beberapa peserta dari perguruan tinggi lain.
Iman Harus Menyentuh Realitas Sosial
Konferensi Internasional ini dibuka oleh Rektor IFTK Ledalero, P. Dr. Otto Gusti Madung, SVD.
Dalam sambutannya, Pater Otto menyatakan bahwa diskusi seputar iman Kristen harus menyentuh realitas hidup sosial yang terjadi di sekitar kita. Hal ini merupakan implementasi dari teologi publik. Contoh konkret untuk hal ini adalah bagaimana menyikapi kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Beberapa hari lalu para mahasiswa dan dosen dari IFTK Ledalero berdemo di depan Pengadilan Negeri Maumere untuk menuntut keadilan dalam kasus TPPO yang sedang hangat akhir-akhir ini. Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah mereka melakukan itu karena iman Kristiani mereka?” ujarnya.
Pater Otto juga mengungkapkan fakta lain bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah satu provinsi yang mayoritasnya merupakan orang Kristen, namun pada kenyataanya korupsi masih merupakan salah satu masalah serius.
“Mengapa iman Kristen tidak memberi pengaruh terhadap hidup sosial masyarakat? Untuk itu, saya ingin agar pertanyaan-pertanyaan ini dibawa ke dalam diskusi-diskusi kita tentang teologi publik dalam konteks Indonesia,” katanya.
Selain pemaparan dari para pembicara kunci, ada juga diskusi paralel yang dibawakan oleh beberapa orang pemateri. Para pemateri dan peserta dibagi ke dalam lima kelompok.»
(fer)