Oleh: Karel Pandu
Kasus tragis yang menimpa AF, seorang remaja 15 tahun di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, membuka kembali luka lama tentang lemahnya perlindungan terhadap anak dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum aparat. AF, yang nekat membakar diri setelah diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang Kapospol, bukan sekadar kisah pilu individu, melainkan sebuah tamparan keras bagi sistem penegakan hukum di negeri ini.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: Sejauh mana perlindungan hukum benar-benar berpihak kepada korban? Bagaimana bisa seseorang yang seharusnya melindungi masyarakat justru menjadi pihak yang diduga melakukan tindakan tercela? Kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum kembali diuji, dan sayangnya, ini bukan kali pertama kita menyaksikan kasus serupa.
Ketika Aparat Menjadi Ancaman
Polisi seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat. Namun, dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Aipda IW menegaskan bahwa ada oknum yang menyalahgunakan wewenang mereka. Jika benar terbukti, kasus ini tidak hanya menunjukkan penyimpangan moral, tetapi juga kegagalan institusi kepolisian dalam membina anggotanya agar berpegang teguh pada etika profesi.
Mirisnya, ini bukan satu-satunya kasus yang menyeret nama Aipda IW. Dugaan pelecehan terhadap siswi SMP berinisial KJN semakin memperlihatkan betapa lemahnya sistem pengawasan internal dalam kepolisian. Seharusnya, begitu muncul dugaan kasus pertama, langkah tegas segera diambil untuk mencegah potensi korban lainnya.
Sanksi Tegas atau Sekadar Janji?
Pihak kepolisian memang telah berjanji untuk menindaklanjuti kasus ini, bahkan menegaskan bahwa tidak ada toleransi terhadap pelanggaran hukum di institusi mereka. Namun, masyarakat berhak skeptis. Sudah terlalu banyak kasus yang berakhir tanpa kejelasan atau dengan hukuman yang terkesan ringan.
Jika penegakan hukum berjalan sesuai harapan, maka Aipda IW harus segera diproses secara hukum, tidak hanya dalam ranah etik, tetapi juga pidana. Kejahatan terhadap anak, terutama yang dilakukan oleh aparat, harus mendapatkan hukuman maksimal. Pemberian sanksi yang tegas bukan hanya soal keadilan bagi korban, tetapi juga pesan kuat bahwa hukum tidak bisa ditawar, siapa pun pelakunya.
Kegagalan Perlindungan Anak
Lebih dari sekadar masalah aparat, kasus ini mencerminkan betapa lemahnya perlindungan terhadap anak di Indonesia. AF, sebagai korban dugaan pelecehan, seharusnya mendapatkan pendampingan psikologis dan hukum. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: dia memilih mengakhiri hidup dengan cara tragis. Ini menunjukkan bahwa sistem yang ada gagal memberikan rasa aman dan perlindungan bagi korban.
Di tengah situasi ini, pemerintah daerah dan lembaga perlindungan anak harus berbenah. Tidak cukup hanya dengan mengecam peristiwa ini, tetapi harus ada langkah konkret dalam memberikan perlindungan bagi korban pelecehan seksual, termasuk pendampingan yang efektif. Program edukasi mengenai kekerasan seksual dan mekanisme pengaduan yang aman harus diperkuat agar korban berani bersuara tanpa rasa takut.
Dibutuhkan Reformasi di Institusi Kepolisian
Kasus seperti ini tidak boleh menjadi sekadar angka dalam statistik kriminalitas. Harus ada reformasi nyata dalam tubuh kepolisian, khususnya dalam sistem rekrutmen, pengawasan, dan sanksi terhadap anggotanya.
Propam Polri perlu menunjukkan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk membersihkan institusi dari oknum yang mencoreng citra kepolisian. Tanpa ketegasan dalam penegakan aturan internal, maka kejadian serupa akan terus terulang, dan kepercayaan publik terhadap polisi akan semakin terkikis.
Keadilan Harus Ditegakkan
Tragedi ini adalah pengingat betapa mendesaknya reformasi dalam perlindungan anak dan penegakan hukum. Kasus AF harus menjadi titik balik bagi semua pihak untuk tidak lagi menutup mata terhadap kekerasan seksual, terlebih jika pelakunya adalah aparat yang seharusnya melindungi masyarakat.
Keberanian masyarakat untuk bersuara, pengawasan ketat terhadap aparat, serta kepastian hukum bagi korban adalah kunci utama untuk mencegah tragedi serupa terulang. Tidak boleh ada lagi anak yang kehilangan harapan karena merasa tidak ada yang berpihak kepada mereka.
Masyarakat harus terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan. Sebab, ketidakadilan yang dibiarkan adalah bibit bagi tragedi berikutnya. Terima kasih.»