Oleh : Karel Pandu

Dalam merespons dinamika konflik tanah yang terjadi di Nangahale dan Patiahu, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar mengenai makna kepemilikan dan keadilan. P. Yosef Kusi, SVD, melalui pengamatannya, menggambarkan situasi dimana hak atas tanah bertabrakan dengan realitas sosial yang kompleks. Dalam konteks ini, mari kita telaah pertanyaan-pertanyaan filosofis yang muncul, serta implikasi etis dari konflik ini.

Pertama, kita harus mempertimbangkan apa itu “kepemilikan” dalam konteks tanah. Kebanyakan dari kita mengasosiasikan kepemilikan dengan bukti hukum, sertifikat, dan pengakuan formal dari institusi pemerintah. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan bahwa hak-hak seseorang terhadap tanah dapat dipertanyakan. Apakah kepemilikan yang sah di atas kertas dapat menjamin hak-hak moral dan sosial dari individu atau komunitas yang hidup di atas tanah tersebut? Dalam konteks Nangahale dan Patiahu, meskipun PT. Krisrama memiliki sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional, penguasaan tanah tersebut seakan-akan cacat karena konflik dengan masyarakat adat yang merasa terpinggirkan.

Kedua, di sini muncul konsep keadilan sosial. P. Yosef Kusi mengungkapkan bahwa meskipun ada dialog dan kesepakatan, tindakan penyabotan oleh masyarakat tetap terjadi. Hal ini mengindikasikan ketidakpuasan mendalam yang tidak dapat diabaikan. Keadilan bukan hanya tentang pengakuan hukum; ia juga berkaitan dengan pengakuan akan martabat dan hak-hak manusia. Apakah tindakan masyarakat yang mengambil alih tanah tanpa izin adalah ekspresi dari perjuangan untuk keadilan atas tanah yang mereka anggap sebagai warisan leluhur? Dalam hal ini, kita dihadapkan pada dua bentuk keadilan: keadilan hukum yang diwakili oleh sertifikat BPN versus keadilan sosial yang diperjuangkan oleh komunitas lokal.

Selanjutnya, kita harus mempertimbangkan peran dialog dalam penyelesaian konflik. P. Kusi menunjukkan bahwa meskipun telah ada dialog dan sosialisasi, hasil yang diharapkan sering kali tidak tercapai. Ini menimbulkan pertanyaan filosofis tentang keefektifan komunikasi di antara pihak-pihak yang memiliki perspektif dan kepentingan yang berbeda. Apakah dialog dapat benar-benar menjembatani perbedaan jika tidak diiringi dengan pemahaman yang lebih dalam tentang konteks dan kebutuhan masing-masing pihak? Dari sini, kita bisa merenungkan arti sejati dari kata “dialog”—apakah ia hanya sekadar pertukaran kata, ataukah bisa menjadi sarana untuk mencapai pemahaman dan reconciliatory efforts?

Konflik ini juga menyingkap masalah hak asasi manusia. P. Kusi turut menyampaikan bahwa tindakan penyabotan yang disertai ancaman kekerasan tidak dapat dianggap remeh. Pertanyaannya, bagaimana kita sebagai masyarakat dapat memastikan bahwa hak-hak semua individu diakui dan dihormati? Di sinilah pentingnya mengevaluasi posisi kita terhadap kekuatan penguasa yang sering kali mengesampingkan suara masyarakat yang lebih lemah.

Dalam kesimpulan, situasi di Nangahale dan Patiahu menawarkan pelajaran penting tentang hubungan antara hukum, keadilan, dan etika. Kita perlu mempertanyakan kembali bagaimana kita mengevaluasi kepemilikan dan hak, serta bagaimana kita berinteraksi dengan semua pihak yang terlibat. Apakah kita cukup memahami kompleksitas dari hak yang sah dibandingkan dengan hak yang dibentuk oleh hubungan sosial dan historis?

Dalam menjalani proses pembelajaran ini, kita juga dituntut untuk berkomitmen pada keadilan yang lebih besar, yang tidak hanya mendasarkan diri pada dokumen dan regulasi, tetapi pada pengakuan akan martabat dan kebutuhan setiap individu di dalam masyarakat. Melalui refleksi ini, kita diingatkan bahwa keadilan sejati memerlukan lebih dari sekadar pengakuan hukum; ia juga memerlukan cinta kasih, penghormatan, dan pengertian atas hak dan martabat setiap manusia. Terimakasih.»