KAREL PANDUOleh : Karel Pandu

Di tengah polemik kematian tragis seorang ibu hamil dan bayinya di RSUD TC Hillers Maumere, satu hal yang paling menyayat adalah kenyataan bahwa dua dokter anestesi yang sebelumnya mengabdi di rumah sakit itu—dr. Remidazon Rudolfus Riba (dr. Remi) dan dr. Evi—telah terlebih dahulu angkat kaki. Bukan karena godaan uang dari luar daerah. Bukan pula karena enggan bertugas. Tapi karena mereka menunggu sesuatu yang tak pernah datang: sebuah evaluasi dan penghargaan yang pantas.

Dalam percakapan dengan dr. Remi, yang masih menetap di Maumere, meski kini menganggur, kita justru mendengar suara yang jernih dan pilu. Ia tidak menampik rasa kecewa, tapi juga tidak membalas dengan kemarahan. Ia hanya menyampaikan fakta: kontraknya habis pada akhir Desember 2024, dan hingga saat ini, tak pernah ada tanggapan terhadap permintaan evaluasi beban kerja yang ia ajukan sejak April tahun lalu.

Apa yang sebenarnya gagal kita pahami?

Pertama, kita terlalu cepat menyalahkan. Nama dr. Remi dan dr. Evi langsung dikaitkan dengan tragedi di RS Hillers, padahal secara administratif mereka tak lagi terikat dengan rumah sakit itu. Bahkan, keduanya telah melalui proses pemeriksaan di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan dinyatakan tidak melakukan pelanggaran berat. Surat Tanda Registrasi (STR) mereka tetap berlaku. Namun stigma terlanjur tertanam—bahkan di media sosial, mereka digambarkan sebagai biang keladi.

Kedua, kita mengabaikan niat baik. Dalam sistem kesehatan yang seringkali penuh ketimpangan, dua dokter muda yang memilih untuk tetap mengabdi di daerah asal adalah anugerah. Apalagi jika mereka bukan sekadar “ditempatkan” di sana karena kewajiban beasiswa, tapi benar-benar ingin membangun daerah kelahiran. Dr. Remi menolak tawaran kerja dari luar daerah dengan gaji yang lebih besar demi bertahan di Maumere. Itu bukan pilihan mudah.

Ketiga, kita gagal membangun sistem yang mendukung pengabdian. Permintaan evaluasi dari dr. Remi dan dr. Evi bukan soal uang semata. Ini soal keadilan. Seorang dokter spesialis anestesi bertanggung jawab besar terhadap keselamatan pasien. Beban kerja mereka harus dikaji secara objektif dan berkelanjutan. Ketika suara itu diabaikan berbulan-bulan lamanya, lalu kontrak tidak diperpanjang, kita seharusnya bertanya: siapa sebenarnya yang meninggalkan siapa?

Ironisnya, saat ada niat untuk memperbaiki—misalnya saat digelar rapat virtual dengan Kementerian Kesehatan pada 17 Maret lalu—perwakilan daerah yang seharusnya hadir justru absen. Komunikasi yang sudah mulai terbuka, kembali macet. Dan ketidakjelasan ini pun membuka jalan bagi asumsi dan fitnah berkembang di publik.

Kisah dr. Remi adalah cermin dari banyak hal yang salah dalam sistem kita. Tentang bagaimana birokrasi seringkali lebih lamban daripada niat baik. Tentang bagaimana publik bisa lebih cepat menghakimi daripada mendengarkan. Dan tentang bagaimana seorang anak daerah yang hanya ingin “mengabdi di tanah kelahiran” justru dibiarkan terkatung-katung, dengan harapan yang nyaris habis.

Kini, ia tetap tinggal di Maumere. Menganggur, bukan karena tak mampu, tapi karena masih menyimpan sejumput harapan bahwa suatu hari, sistem akan lebih adil. Bahwa komunikasi akan lebih terbuka. Dan bahwa pengabdian tidak lagi diartikan sebagai pengorbanan tanpa penghargaan.

Kalau kita masih ingin memperbaiki sistem kesehatan di daerah, kita harus mulai dari hal yang sederhana: dengarkan suara para dokter kita, sebelum mereka benar-benar pergi.»