Maumere, GardaFlores—Ini pengakuan mantan dokter anestesi di RSU TC Hiller Maumere, dr. Remidazon Rudolfus Riba. Ia mengatakan, kontraknya sebagai dokter anestesi di rumah sakit tersebut sudah berakhir sejak Desember 2024.

“Saya sudah tidak punya hubungan kerja dengan rumah sakit itu sejak kontrak saya berakhir 31 Desember 2024. Jadi aneh rasanya kalau nama saya masih dikaitkan,” ungkapnya tenang saat ditemui di Maumere, Sabtu (12/4/2025).

Nama dr. Remidazon Rudolfus Riba — atau akrab disapa dr. Remi — mendadak jadi bahan pembicaraan publik. Ia, bersama dr. Evi, disebut-sebut dalam pusaran kasus kematian tragis seorang ibu hamil bernama Maria Yunita dan bayinya di RSUD TC Hillers Maumere, Rabu 9 April 2025 lalu.

Baca juga:
Lantaran Ketiadaan Dokter Anestesi 5 Orang Meninggal, 62 Bumil Besti

Polemik itu muncul setelah diketahui bahwa saat kejadian, tidak ada dokter anestesi yang bertugas di rumah sakit tersebut. Isu pun merebak, dan dua nama dokter yang pernah mengabdi di sana segera diseret ke dalam perdebatan.

Lebih dari satu tahun sebelumnya, dr. Remi dan dr. Evi sebenarnya sudah menyampaikan kesediaan untuk tetap mengabdi. Namun ada satu syarat: dilakukan evaluasi menyeluruh soal beban kerja dan insentif mereka sebagai dokter spesialis anestesi.

“Kami bukan minta gaji besar. Kami hanya ingin ada kajian yang adil, agar pengabdian kami dihargai sesuai beban kerja yang nyata,” jelasnya.

Namun, surat yang mereka kirim sejak April 2024 tak kunjung direspons. Dan waktu pun berlalu, hingga akhirnya kontrak mereka tak diperpanjang. Bagi sebagian orang, ini mungkin kesempatan untuk segera pindah ke tempat lain. Tapi tidak bagi dr. Remi.

“Saya tidak melamar ke rumah sakit lain. Padahal ada banyak yang tawarkan gaji lebih besar. Tapi saya memilih tetap di sini. Saya lahir dan besar di Kabupaten Sikka. Saya ingin tetap mengabdi di sini,” ucapnya lirih.

Baca juga:
GMNI Sikka Desak Pemerintah Hadirkan Dokter Anestesi di RSUD TC Hillers Maumere

Kisah pengabdian dr. Remi berawal dari beasiswa Kementerian Kesehatan yang ia terima untuk menempuh pendidikan spesialis. Dalam perjanjian, ia dan dr. Evi berkewajiban mengabdi di wilayah Provinsi NTT selama lima tahun, dan tidak wajib mengabdi secara khusus ke RS TC Hillers.

“Kalau kami penerima beasiswa Pemda Sikka, barulah kami wajib kembali ke rumah sakit itu. Tapi beasiswa kami dari pusat. Pengabdian kami untuk seluruh NTT,” tegasnya.

Dr. Evi bahkan sudah menyelesaikan masa pengabdian enam tahun. Sementara dr. Remi masih memiliki dua tahun tersisa — yang tetap bisa dijalankan di rumah sakit mana saja di NTT.

Disidang, Dinyatakan Tak Bersalah

Tudingan publik tak berhenti pada isu mangkir. Nama keduanya sempat dilaporkan ke Kementerian Kesehatan, diduga melanggar standar operasional (SOP). Namun setelah melalui sidang di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), hasilnya tegas: tidak ada pelanggaran berat, dan STR (Surat Tanda Registrasi) mereka tetap berlaku.

Ia pun meluruskan anggapan bahwa Gubernur NTT bisa mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dokter. “Itu tidak benar. Yang berwenang mencabut STR hanyalah Kementerian Kesehatan, dan hanya melalui prosedur yang ketat,” ungkapnya.

Sebenarnya, kata dr. Remi, Wakil Bupati Sikka sempat membangun komunikasi yang baik. Bahkan menyetujui perlunya evaluasi beban kerja. Namun ketika rapat virtual dengan Kemenkes digelar pada 17 Maret 2025, sang wakil bupati tak hadir. Akibatnya, tak ada pernyataan resmi yang bisa dijadikan acuan tindak lanjut.

Baca juga:
Dokter Anestesi Mulai Bertugas Sementara di RSUD TC Hillers Maumere

Dan itulah yang, menurut dr. Remi, memicu salah persepsi di masyarakat. Banyak yang mengira ia dan dr. Evi meninggalkan rumah sakit karena soal uang. Padahal kenyataannya, mereka hanya menunggu proses yang tak pernah datang.

“Kami tidak marah. Kami hanya ingin didengar. Ingin dihargai. Dan kalau memang tidak bisa, tidak apa-apa. Tapi jangan lempar kesalahan ke pundak kami,” ucapnya.

Kini, dr. Remi masih tinggal di Maumere. Menganggur, bukan karena tidak punya pilihan, tapi karena masih menyimpan harapan kecil: bahwa suatu hari, ia bisa kembali mengabdi di tempat yang ia cintai, dengan cara yang lebih adil dan manusiawi.

“Ini hanya soal ayah dan anak. Tak perlu sampai melibatkan orang luar, apalagi sampai ke media sosial dan media massa,” katanya menutup dengan senyum.»

(rel)

Tags:dr. Evidr. Remidazon Rudolfus RibaKementerian KesehatanRSU TC Hiller Maumere