Maumere, GardaFlores—Antonius Yohanes Bala, SH, menilai tindakan pembersihan lahan yang dilakukan PT Krisrama di atas tanah HGU Nangahale sebagai perbuatan yang tidak manusiawi, keji, dan melanggar hukum.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Antonius Yohanes Bala alias John Bala di Maumere, Senin (27/1/2025).
John Bala menjelaskan bahwa PT Krisrama memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) seluas 325.682 hektar di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura dan Desa Runut, Kecamatan Waigete berdasarkan dua produk hukum, yakni SK Kepala Kantor Wilayah BPN NTT No: 1/HGU/BPN.53/VII/2023 dan 10 persil sertifikat HGU No. 4 sampai dengan 13 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Sikka.
Baca juga:
Perjuangan Panjang Masyarakat untuk Hak atas Tanah HGU Nangahale
Menurut John Bala, SK HGU yang diterbitkan oleh BPN NTT menjadi dasar hukum bagi terbitnya sertifikat HGU tersebut. SK HGU adalah produk hukum yang memberikan izin sementara, sedangkan sertifikat adalah bukti bahwa izin tersebut telah didaftarkan.
Terkait dengan penggusuran yang terjadi baru-baru ini di beberapa desa seperti Wairhek, Utanwair dan Pedan, John Bala menilai tindakan tersebut sebagai sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum. Ia menekankan bahwa dalam SK HGU tersebut tidak ada mekanisme yang mengizinkan tindakan pembersihan lahan untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan atas tanah.
Bala berpendapat bahwa tindakan PT Krisrama dalam melakukan penggusuran adalah hasil dari kelalaian pihak kuasa hukum PT Krisrama dalam membaca peraturan tentang HGU dengan cermat.
Baca juga:
Yustina Yusmiani Sebut Jhon Bala Provokator dalam Kasus Tanah HGU Nangahale
Lebih lanjut, ia juga menyoroti peran dua imam Katolik, Romo Epi Rimo dan Romo Yan Faroka yang menurutnya terlibat dalam tindakan yang melanggar prinsip kemanusiaan tersebut.
Menurut Bala, dalam diktum keenam SK HGU, disebutkan bahwa jika ada keberatan atau sengketa terkait penguasaan atau kepemilikan tanah, pihak yang menerima HGU (PT Krisrama) wajib menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa jika masyarakat tetap bertahan di atas tanah tersebut, PT Krisrama seharusnya menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum, yakni dengan menggugat ke pengadilan.
Baca juga:
Lewor Gobang Ungkap Perjuangan Tanah HGU Nangahale Patiahu yang Tak Kunjung Terselesaikan
Bala juga mengatakan, pembersihan lahan hanya dapat dilakukan setelah melalui proses penyelesaian sengketa sesuai dengan hukum yang berlaku, dan setelah memperoleh keputusan dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Lebih lanjut, John Bala mengkritik penggunaan nama “PT Kristus Raja Maumere” yang, menurutnya, memberikan perlindungan atau kekebalan hukum bagi perusahaan tersebut. Ia juga mengungkapkan bahwa Keuskupan Maumere, yang memiliki saham di PT Krisrama, menggunakan pengaruh sosialnya untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah, polisi, dan militer, yang akhirnya membiarkan kekerasan tersebut terjadi.
Baca juga:
Pembersihan Lahan HGU PT Krisrama, Begini Penjelasan Romo Ephi
Sebagai respons terhadap peristiwa ini, John Bala menyatakan bahwa dirinya bersama dengan organisasi AMAN dan PPMAN akan terus mendampingi warga yang menjadi korban penggusuran. Mereka juga berencana untuk menempuh jalur hukum pidana maupun perdata dalam waktu dekat.
Dengan berakhirnya dialog antara warga, PT Krisrama, dan Keuskupan Maumere, John Bala menegaskan bahwa mereka akan menyelesaikan masalah ini melalui proses litigasi di pengadilan.»
(rel)