Maumere, GardaFlores—Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan hak atas tanah, khususnya tanah HGU Nangahale, telah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Antonius Yohanes Bala SH, salah satu anggota yang terlibat dalam perjuangan ini, mengenang kembali langkah-langkah awal yang dimulai pada 15 Januari 2001.
Kepada media di Maumere, Senin (27/1/2025), Antonius Yohanes Bala alias John Bala menuturkan, masyarakat yang sebagian besar berasal dari daerah Lio, Nita, Koting, Lela, serta sekitar kawasan hutan Egon Ilimedo, Ili Wuli, dan Wuko Lewoloro, bersatu untuk mengangkat suara mereka dalam memperjuangkan hak atas tanah.
Baca juga:
Lewor Gobang Ungkap Perjuangan Tanah HGU Nangahale Patiahu yang Tak Kunjung Terselesaikan
John Bala, menjelaskan bahwa perjuangan ini dimulai dengan semangat baru pada masa reformasi, ketika masyarakat yang terpinggirkan, miskin, dan tertindas berharap ada perubahan yang lebih baik. Masyarakat bergerak bersama, tanpa memandang latar belakang, dengan semangat kebersamaan yang kuat. Dalam sebuah aksi long march yang terorganisir, mereka bergerak dari Pusat Penelitian Candraditya di Wair Klau menuju Gedung DPRD Sikka.
Sepanjang perjalanan, massa mengangkat berbagai tuntutan yang digambarkan dalam spanduk dan poster berisi tulisan-tulisan seperti “Tana Amin Moret Amin”, “Hidup Masyarakat Adat”, dan “Hidup Petani”. Yel-yel dan teriakan semangat bergema sepanjang jalan, menegaskan tekad mereka untuk memperjuangkan hak atas tanah dan keadilan sosial.
Baca juga:
Yustina Yusmiani Sebut Jhon Bala Provokator dalam Kasus Tanah HGU Nangahale
Aksi ini berbuah hasil setelah tiga hari menduduki Gedung DPRD Sikka, dengan Ketua DPRD Sikka dan Bupati Sikka saat itu, Lusi Gudipung dan Paulus Moa, akhirnya merespon tuntutan masyarakat. Mereka mengeluarkan dua keputusan penting terkait penyelesaian konflik kawasan hutan dan konflik HGU.
Namun, perjuangan ini tidak berhenti di sana. Pada Januari 2001, tim yang mewakili masyarakat bertemu dengan Uskup Abdon Longginus di Istana Ndona untuk membahas masalah tanah. Uskup Longginus menyarankan agar masyarakat menempuh jalur hukum, yaitu dengan menggugat ke pengadilan. Bagi sebagian masyarakat, saran tersebut terasa berat, mengingat ketidakmampuan mereka untuk mengakses jalur hukum. Oleh karena itu, mereka memilih untuk melakukan pengklaiman tanah sebagai langkah pertama dalam perjuangan mereka.
Baca juga:
Pembersihan Lahan HGU PT Krisrama, Begini Penjelasan Romo Ephi
Setelah 24 tahun berjuang masyarakat Maumere kembali menemui tantangan besar. Pada 22 Januari 2022, mereka mengalami tragedi penggusuran dan kembali harus memulai perjuangan dari awal. Penggusuran dilakukan oleh PT. Krisrama dan Keuskupan Maumere dengan dalih penegakan hukum berdasarkan keputusan pengadilan.
Jhon Bala mengungkapkan keprihatinannya atas kenyataan ini, menyebut bahwa meskipun telah lebih dari dua dekade berjuang, kesadaran sosial yang ada di masyarakat belum mengalami perubahan yang signifikan.
Baca juga:
Kuasa Hukum PT. Krisrama Tanggapi Pernyataan Jhon Bala soal Tanah HGU Nangahale
“Dulu, setelah 89 tahun berjuang menghadapi penjajahan Belanda dan Gereja Katolik, masyarakat diminta untuk menggugat ke pengadilan. Sekarang, setelah 24 tahun berjuang, mereka juga kembali diminta untuk menggugat ke pengadilan,” ujar Jhon Bala dengan nada kecewa.
Sebagai seorang aktivis yang terlibat dalam perjuangan ini, Jhon Bala menegaskan bahwa dia tidak ingin mengomentari fenomena sosial yang melingkupi konflik ini, tetapi hanya ingin mengungkapkan fakta sejarah perjuangan masyarakat. Dia juga menyampaikan terima kasihnya kepada JPIC SVD Ende yang telah ikut mendampingi perjuangan ini sejak awal.»
(rel)