Oleh Anton Yohanis Bala
Pengacara Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Tanggapan Terhadap Opini Marianus Gaharpung;
Saya Suka. Merasa paling benar, tapi tidak nyaman dengan narasi kami.
Senior Marianus jangan terlalu kecewa dan baper kalau kami tidak merespon anjuran-anjurannya. Demikian, kami bertahan pada pilihan strategi dan cara yang kami yakini itu tidak sama dengan tidak paham hukum.
Sempit sekali ruang jelajah-nya sehingga hanya paham litigasi sebagai cara satu-satunya dalam menyelesaikan masalah.
Bertahun-tahun kami mengedepankan dialog karena kami menghormati dengan siapa kami berhadapan. Namun, semuanya itu, jauh panggang dari api. Rupanya mereka yang kami andalkan untuk mencintai, membawa damai dan menuntun pembebasan tidak lebih hanya sebagai orang-orang yang tidak setia dan inkonsisten pada ajarannya dan kebersamaan (Komunio).
Kalau proses ini menjadi lamban dan berlarut-larut, coba dengan kepala dingin dan hati yang tenang mencari tahu secara saksama siapakah penyebabnya? Jangan main tuduh… itu sama dengan sudah mimpi di saat belum tidur lelap.
Sekelompok orang yang gagal bertahan dalam perjuangan lalu memilih berkhianat itu bukan hal baru dalam dunia pergerakan. Itu seleksi alam. Demikian mereka kemudian menjadi pahlawan dan dimuliakan di mata orang-orang yang bertentangan dengan kami itupun bukan aneh. Karena racun pergerakan akan menjadi sangat bermanfaat di mata musuh pergerakan itu.
Kami tidak mengandalkan apa yang kami pelajari dari sekolah untuk mengajarkan kembali pada dunia pergerakan. Kami justru bersama mereka membuka ruang kelas baru untuk belajar bersama tentang pengalaman kekerasan, diskriminasi dan pengabaian dari organ-organ publik seperti negara dan gereja terhadap eksitensi kehidupan mereka sebagai umat dan rakyat.
Setelah dari situ, kami membentuk strategi dan cara berjuang untuk perubahan yang lebih besar. Bukan hanya sekedar kalah atau menang di Pengadilan. Melainkan membangun kesadaran untuk melawan feodalisme, melawan relasi kuasa yang tidak adil, membangun tatanan sosial yang demokratis dan inklusi, setia kawan dan solidaritas.
Mereka-mereka yang mundur lalu berkianat, pada umumnya yang enggan belajar kembali. Mereka masih mengandalkan feodalisme dengan status perintis perjuangan. Stratifikasi sosial antara tuan dan orang kebanyakan. Menempatkan gembala lebih penting dari domba. Gila hormat. Tidak konsisten pada keyakinan sendiri, pelaku kekerasan dan mencari untung dari sesamanya.
Inilah untaian kata yang menarik untuk dibaca. Saya berharap kali ini untaian kata-kata ini bukan hanya sekedar menarik, tapi ada pesan moral untuk memahami posisi kami dalam perjuangan ini. Siapa lawan kami dan kualitas seperti apa? Dan siapa saja yang sedang mendukung mereka untuk mengingkari habitus?
Sakarang saya mau jawab pertanyaan satu persatu. Sebagai berikut:
- Perjuangan kami tidak digubris… ini contohnya…. PT. Krisrama telah mengajukan perpanjangan pembaruan HGU 4 Nopember 2013, lalu dihentikan oleh ATR/BPN selama 9 tahun dan baru diajukan ulang HGU-nya pada 2021. Itu karena apa? Karena tanggal 5 Nopember 2015 masyarakat datang melakukan keberatan langsung ke ATR/BPN.
- Soal dasar legalitas warga memasuki lahan HGU Nangahale…Kami hanya tahu bahwa itu adalah Tanah Negara dan Pasal 33 ayat (3) mengatakan bumi, air …… sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi tanggal 5 Nopember kami bertemu dengan Direktur PHPT-ATR/BPN untuk menyampaikan telah menduduki lokasi HGU dan berkebaratan atas pembaruan PT. Krisrama. Kami tidak dituduh melakukan penyerobotan, tapi justru proses pembaruan HGU PT. Krisrama dihentikan karena sudah ada warga di dalamnya dan diminta berdialog sebagai jalan penyelesaiannya. Mereka juga tidak ditanya alas hak sebelumnya sudah ada atau tidak. Buktinya, ada foto pertemuan, Saksi: AMAN, KPA, VIFAD-SVD dan 7 orang wakil warga masyarakat.
- Kalau masyarakat harus punya sertifikat Hak Atas Tanah, jelas mereka tidak punya. Mereka mengklaim tanah negara justru karena mereka belum punya tanah dan hingga saat ini mereka tidak ditangkap. Kami justru menunggu 8 advokat PT. Krisrama segera merealisasikan surat somasi itu dan melaporkan ke Polres Sikka biar jelas status mereka.
- Kami hanya punya fakta sejarah, mereka yang dituduh penyerobot, tidak punya hak keperdataan itu, terus-terus diajak sebagai pihak dalam perundingan lalu dikhianati. Dengan bukti: 1) Ada saksi dan catatan sejarah warga diundang oleh Bupati berdialog dengan Bapak Uskup pada 6 dan 20 Mei 2016 untuk menyelesaikan permasalahan HGU atas saran Kementerian ATR/BPN; 2) Ada peristiwa dialog 23 September 2016 yang difasilitasi Komnas HAM; 3) Ada SK. Bupati Sikka 444/HK/2016 dan SK Bupati Sikka 134/HK/2020 yang memposisikan warga sebagai pihak dalam identifikasi, verifikasi dan perundingan.
- Kemudian saya coba cek di PP 18/2021 dan Permen ATR/BPN 18/2021 tidak ada itu syarat keberatan warga harus sebelumnya menunjukan alas hak-nya dulu. Kalau Senior punya sumber hukum lain silakan gugat atau lapor pidana berdasarkan dasar hukum itu.
Sisanya bukan pertanyaan tapi hanya justifikasi dan framing negatif pesimistis saja terhadap posisi dan pilihan sikap kami. Ini tampaknya tidak perlu dijawab sekarang. Nanti waktulah yang menentukan jawabannya. Tabe. Terima kasih.»