Maumere, GardaFlores—Kementerian HAM berkomitmen untuk memfasilitasi penyelesaian kasus tanah Nangahale dengan prinsip yang adil dan berdasarkan pada hukum yang berlaku.
Komitmen Kementerian HAM itu disampaikan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto Sipin, ketika menerima audiensi Tim Advokasi dari Forum Komunikasi Komunitas Flobamora (FK2F) Jabodetabek, di Jakarta, Selasa (11/2/2025).
“Saya berharap kasus ini segera selesai. HAM harus dihormati oleh semua pihak dan tidak boleh dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Kami akan mendukung penyelesaian yang berkeadilan, termasuk mengunjungi lokasi jika diperlukan untuk memfasilitasi proses penyelesaian,” kata Wamen Mugiyanto.
Baca juga:
Hingga Pekan Kedua Februari, Sudah 50 Warga Kabupaten Sikka Terserang DBD
Ketua Tim Advokasi FK2F Jabodetabek, Marsel Ado Wawo mengatakan, kunjungan mereka ke Kementerian HAM bertujuan untuk menjelaskan status hukum terkait sengketa tanah Nangahale.
Marsel Ado Wawo, yang memimpin tim advokasi pada kesempatan itu menanggapi tuduhan bahwa Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama telah melanggar HAM dalam proses pembersihan lahan Hak Guna Usaha (HGU) di Nangahale. Tuduhan ini, katanya, muncul setelah laporan yang menyebutkan bahwa PT Krisrama telah “menggusur rumah-rumah warga di tanah masyarakat adat.”
“Kami mengapresiasi Kementerian HAM yang menerima kami untuk memberikan klarifikasi terkait legal standing tanah HGU yang telah diberikan negara kepada PT Krisrama. Kami hadir di sini untuk menjelaskan status hukum tanah tersebut berdasarkan data yuridis dan data fisik,” ujarnya.
Baca juga:
Pj Bupati Sikka Minta Pegawai Dinas Kominfo Tingkatkan Disiplin
Wawo menegaskan bahwa PT Krisrama memiliki data hukum yang kuat mengenai tanah HGU mereka dan meminta agar masalah ini segera diselesaikan tanpa manipulasi.
“Kami tidak meminta pembelaan dari Kementerian HAM, tetapi kami meminta agar kasus ini diproses dengan melihat fakta-fakta hukum yang ada, demi memberikan edukasi kepada masyarakat,” ujar Wawo.
Sejarah dan Status Hukum Tanah Nangahale
Agustinus Dawarja, seorang advokat yang turut bergabung dalam tim, menjelaskan sejarah perolehan dan status hukum tanah tersebut. Menurutnya, tanah Nangahale sebelumnya dikuasai oleh perusahaan Belanda, Amsterdam Soenda Compagni, pada tahun 1912, dan luasnya mencapai sekitar 1.438 hektar. Pada tahun 1926, tanah ini dijual ke Vikariat Apostolik Ende (VAE) dengan harga 22.500 gulden.
Baca juga:
Pertamina Patra Niaga Maumere Gelar Simulasi Penanggulangan Keadaan Darurat
Selanjutnya, tanah tersebut mengalami beberapa kali redistribusi, termasuk kepada Pemerintah Swapradja Sikka pada 1956 dengan luas 783 hektar, dan 29 hektar lagi diberikan kepada pemerintah untuk pengungsi tsunami Flores pada 1993. Dengan diberlakukannya UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, Keuskupan Agung Ende (yang sebelumnya merupakan VAE) mengajukan permohonan Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa Nangahale. Pada 1989, PT DIAG (Dioses Agung Ende), yang kemudian menjadi PT Krisrama, mendapatkan HGU untuk lahan tersebut selama 25 tahun.
Pihak Tim Advokasi juga membahas persoalan penyerobotan yang terjadi di tanah HGU PT Krisrama. Sejumlah individu mengklaim tanah tersebut sebagai tanah adat dan mendirikan pondok-pondok di atasnya. Pemerintah dan PT Krisrama telah berulang kali mencoba menyelesaikan masalah tersebut, namun upaya tersebut tidak dihiraukan oleh pihak yang menduduki tanah secara ilegal.
Baca juga:
Polres Sikka Pulangkan 9 Pekerja Migran Indonesia ke Daerah Asalnya
Pada 8 Juni 2021, Tim Terpadu Penyelesaian Tanah Eks HGU Nangahale mengeluarkan keputusan bahwa tanah Nangahale bukanlah tanah adat. Keputusan ini menegaskan bahwa tanah tersebut merupakan tanah HGU yang sah dan telah diterbitkan sertifikatnya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Yang terjadi sebenarnya adalah penyerobotan, bukan pelanggaran HAM. Di lahan HGU ini, terdapat puluhan pondok darurat dan hanya satu rumah semi permanen yang dihancurkan. Rumah tersebut adalah milik aktivis LSM AMAN, yang sengaja membangun rumah tersebut untuk memanipulasi situasi,” kata Gusti, salah satu anggota Tim Advokasi.
Baca juga:
Tim Advokasi FKM Flobamora Desak Polres Sikka Tangkap Provokator Kasus Tanah Nangahale
Pengacara senior, Petrus Selestinus menambahkan bahwa LSM AMAN, yang diduga menghasut warga untuk menduduki lahan, sebenarnya dipimpin oleh seorang aktivis yang telah menyebarkan informasi palsu mengenai pelanggaran HAM ke Kementerian HAM. Menurutnya, masyarakat setempat tidak mengenal konsep tanah adat atau masyarakat adat, sebagaimana telah dijelaskan oleh Tim Terpadu Pemkab Sikka.»
(rel)