Maumere, GardaFlores – Suitbertus Amandus disomasi tiga warga Desa Riit, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka. Hal itu terkait dengan dugaan penyerobotan tanah milik mereka. Tetapi kuasa hukum Amandus membantah keras tuduhan itu.

Somasi terhadap Amandus itu disampaikan Kuasa Hukum mereka, Anton Yohanis Bala dan Laurensius Sesu Weling pada 20 Agustus 2024 dan ditanggapi Amandus dan kuasa hukumnya, Jumat (6/9/2024).

Dalam surat somasi itu, Yohanis Bala dan Laurensius Weling menyatakan bahwa mereka adalah advokat dan penasihat hukum dari Rikardus Nong, Polikarpus Bata Warat dan Yohanes Don Bosko Woda.

“Atas nama pemberi kuasa menyampaikan somasi atau peringatan hukum kepada Suitbertus Amandus yang beralamat di sebelah utara Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante,” tulis mereka.

Dalam surat somasi itu, Bala dan Weling meminta Amandus agar segera memberikan klarifikasi atau penjelasan tentang keterlibatannya atas pemanfaatan air di atas tanah milik klien mereka.

Dijelaskan, tanah yang dimaksud itu terletak di Wairladang A Bokak Duur. Tanah itu, tulis Bala dan Weling, adalah benar-benar milik klien mereka yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan kepemilikan tanah No. Pem.042.2/DRT/75/VIII/1998 atas nama Rikardus Nong yang dikeluarkan oleh Paulus Pos Sekretaris Desa Riit tertanggal 25 Agustus 1998. Kemudian telah dipertegas kembali oleh Kepela Desa Riit dengan surat Nomor: DRT/590/787/VIII/2024, tertanggal 8 Agustus 2024.

Lebih lanjut disebutkan, di atas dan/atau di dalam bidang tanah tersebut di atas terdapat sumber mata air yang sejak tahun 1999 atau 2000 telah dimanfaatkan oleh Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero dan Biara Pasionis Nilo.

“Bahwa untuk pemanfaatan mata air tersebut pihak Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero dan Biara Pasionos Nilo telah membuat perjanjian dan mendapatkan ijin pemanfaatan dari Saudara dan bukan dari klien kami sebagai pemilik tanah yang sah,” tulis mereka.

Disebutkan, dalam perjanjian dan pemberian ijin pemanfaatan mata air tersebut kepada Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero dan Biara Pasionis Nilo, Amandus  telah mengklaim tanah dan mata air tersebut sebagai miliknya.

“Menurut informasi dari pemberi kuasa, saudara telah mendapatkan uang kompensasi dan/atau uang ganti rugi dari pihak penerima manfaat atas pemberian ijin tersebut,” tambah mereka.

Lebih jauh, disebutkan, tindakan Amandus yang telah mengaku sebagai pemilik tanah, mengambil manfaat materil berupa uang kopensasi dan/atau uang ganti rugi adalah perbuatan sewenang-wenang dan melawan hukum. “Karena tanah tersebut bukalah milik saudara, melainkan sah milik keluarga Pemberi Kuasa.”

Keduanya memberi waktu 2 minggu bagi Amandus untuk segera memberi klarifikasi baik secara langsung maupun melalui surat.

“Apabila somasi atau teguran ini tidak segera ditanggapi sampai dengan waktu yang telah diberikan, maka kami akan menempuh upaya hukum pidana maupun perdata,” tegas mereka.

Suitbertus Amandus (duduk berbaju putih-tengah-) didampingi keluarga dan kuasa hukumnya.

 

Bantah Keras

Kuasa hukum Suitbertus Amandus, Viktor Nekur membantah keras tuduhan terhadap kliennya.

Kepada media di Maumere, Jumat (6/9/2024) Viktor Nekur menilai somasi tersebut sebagai upaya pembunuhan karakter.

Viktor menegaskan, somasi tersebut salah alamat karena sumber mata air Wairladang itu berada di kawasan hutan lindung yang merupakan milik negara dan diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2024 tentang Sumber Daya Air. Oleh karena itu, klaim pribadi atas sumber air tersebut dianggap tidak sesuai.

“Sumber air Wairladang telah dimanfaatkan untuk kepentingan umum, dan bukan untuk kepentingan pribadi sebagaimana disebutkan dalam somasi,” ujar Nekur.

Ia menambahkan bahwa masyarakat Desa Wuli Wutik telah memanfaatkan sumber air tersebut sejak 1999 dengan bantuan program Aus Aid yang menyediakan pipa plastik untuk menyalurkan air.

Lebih lanjut, Viktor menjelaskan bahwa Suitbertus Amandus hanya berperan sebagai fasilitator agar air dari Wairladang dapat mengalir ke Desa Wuli Wutik. Atas inisiatif Amandus, STFK Ledalero kemudian mengganti pipa plastik tersebut dengan pipa besi, sehingga air dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa serta lembaga pendidikan di sekitarnya.

“Klien kami tidak pernah melakukan kesepakatan untuk memanfaatkan keuntungan finansial dari penggunaan air tersebut,” tegasnya.

Nekur  juga membantah tuduhan bahwa kliennya menjual air dari sumber tersebut. Menurutnya, air tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Wuli Wutik, STFK Ledalero, Desa Ladogahar, dan komunitas Pasionis.

Ia menambahkan, meskipun Desa Ladogahar menggunakan reservoir sendiri, sumber airnya tetap berasal dari Wairladang.

“Kami siap mempidanakan siapa pun yang terlibat dalam penyebaran informasi tidak benar ini, karena ini merusak nama baik klien kami,” ujar Nekur.

Selain itu, kuasa hukum juga mempertanyakan klaim kepemilikan tanah yang diajukan oleh pihak penggugat, mengingat sumber air tersebut terletak di kawasan hutan lindung yang merupakan milik negara. “Jika memang tanah tersebut berada di kawasan hutan lindung, klaim itu seharusnya ditujukan kepada negara, bukan kepada klien kami,” kata Nekur.

Kuasa hukum lainnya, Vitalis Badar, menambahkan bahwa inisiatif pembangunan akses air tersebut datang langsung dari masyarakat Desa Wuli Wutik pada tahun 1999, dengan bantuan program Aus Aid.

Menurutnya, tuduhan terhadap Amandus tidak memiliki dasar yang kuat dan merupakan kesalahpahaman mengenai peran kliennya dalam proyek tersebut.

Pihak kuasa hukum berharap agar pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat mengecek fakta dengan lebih teliti sebelum menyebarkan informasi yang tidak akurat ke publik. Mereka juga menegaskan akan terus memperjuangkan kebenaran dan melindungi reputasi klien mereka dari tuduhan yang tidak berdasar.

Menurut Vitalis Badar, somasi yang dilayangkan oleh Rikardus Nong, Polikarpus Bata Warat, dan Yohanes Don Bosko Woda tidak berdasar. Menurutnya, surat yang dikeluarkan pada tahun 1998 terkait kepemilikan tanah, yang didukung dengan surat Agustus 2024 dengan kode DRT, menunjukkan bahwa pihak penggugat tidak mampu memberikan bukti kepemilikan yang sah atas tanah tersebut.

“Air yang dimanfaatkan oleh masyarakat berasal dari sumber mata air yang berada di kawasan hutan lindung. Bahkan, ada pilar pembatas antara wilayah desa dan tanah milik masyarakat dengan kawasan hutan lindung, yang jaraknya sekitar 2,5 hingga 7 kilometer dari sumber mata air,” jelasnya.»

(rel)

Tags:JOHN BALALORENS WELINGNITASUITBERTUS AMANDUSSUMBER MATA AIRVIKTOR NEKURWAIRLADANGWULIWUTIK