OPINI
LKPJ Desa Bukan Dokumen Rahasia, Transparansi Harus Jadi Napas Pemerintahan Desa

Oleh Karel Pandu
Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) di Desa Likong Gete, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Kamis (9/10/2025), menuai polemik. Warga menilai prosesnya tidak sah karena Badan Permusyawaratan Desa (BPD) disebut melarang masyarakat mengetahui isi dokumen tersebut.
Jika benar demikian, ini bukan sekadar persoalan administrasi — tetapi tamparan keras terhadap semangat transparansi yang menjadi dasar pemerintahan desa.
Padahal, LKPJ bukan dokumen rahasia negara. Ia adalah laporan terbuka tentang penggunaan anggaran, pelaksanaan program, dan capaian kinerja pemerintah desa selama satu tahun.
Dengan kata lain, LKPJ adalah hak publik. Warga berhak tahu bagaimana uang desa dikelola, sejauh mana janji pembangunan dipenuhi, dan ke mana arah kebijakan desa digerakkan.
Larangan warga untuk membaca atau memiliki dokumen LKPJ adalah bentuk kemunduran. Ia menyalahi prinsip transparansi dan akuntabilitas yang telah lama menjadi roh dalam tata kelola pemerintahan modern.
Dalam konteks hukum, tindakan itu bahkan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran administratif, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pasal-pasal dalam UU Desa jelas menegaskan bahwa Kepala Desa wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan secara terbuka. Bila kewajiban itu diabaikan, sanksinya bukan main-main — mulai dari teguran hingga pemberhentian tetap. Prinsipnya sederhana: kekuasaan tanpa keterbukaan adalah jalan menuju penyimpangan.
Lebih jauh, kasus di Likong Gete memperlihatkan gejala klasik di banyak desa: informasi publik masih dianggap milik pejabat, bukan milik rakyat. Padahal, dana desa bersumber dari uang rakyat. Karena itu, rakyatlah yang paling berhak tahu bagaimana dana itu digunakan.
Pemerintah kabupaten tidak boleh menutup mata. Evaluasi menyeluruh harus segera dilakukan. BPD dan Penjabat Kepala Desa yang terlibat dalam pembatasan informasi perlu dimintai klarifikasi. Jika terbukti menutup akses publik tanpa alasan yang sah, sanksi administratif harus ditegakkan.
Transparansi bukan pilihan, tetapi kewajiban. Desa yang menutup diri dari pengawasan publik justru sedang menggali jurang ketidakpercayaan. Demokrasi di tingkat desa hanya akan hidup jika pemerintah berani membuka diri terhadap kritik dan pengawasan warga.
LKPJ bukan milik segelintir orang, melainkan milik seluruh masyarakat desa. Menutupnya sama saja dengan mematikan hak rakyat untuk tahu — dan tanpa hak untuk tahu, tidak ada demokrasi yang benar-benar hidup di akar rumput. Tabe.»
GARDAPLUS
Hati Nurani – Ruang Sunyi Kebenaran Berbisik

Oleh Wenseslaus Wege, S. Fil
Mantan Anggota DPRD Sikka
Sebuah penjelasan filosofis dan simbolis tentang makna “Hati Nurani Rakyat” pada nama Partai Hanura: sungguh menyimpan sebuah makna mendalam yang penuh dengan pesan moral dan ketulusan pengabdian.
Pemilihan nama Hati Nurani Rakyat sesungguhnya membawa simbol yang dalam. Hati nurani adalah suara paling murni dalam diri manusia—suara yang tidak bisa dibeli, tidak bisa dimanipulasi, dan selalu cenderung pada kebenaran. Dengan menempatkan “hati nurani” di depan, Hanura ingin menegaskan bahwa politik tidak boleh dijalankan semata-mata dengan strategi kekuasaan, atau hitung-hitungan pragmatis, melainkan dengan nurani yang jujur dan bersih.
Kata “rakyat” memperkuat makna itu. Rakyat adalah sumber legitimasi sejati dalam demokrasi. Tanpa keberpihakan pada rakyat, sebuah partai hanya menjadi wadah ambisi elite. Karena itu, Hanura secara simbolis ingin menghadirkan politik yang dekat dengan rakyat, mendengar suara hati rakyat, dan memperjuangkan kesejahteraan mereka sebagai tujuan utama.
Jika kita mendalami secara filosofis, nama Hanura menyimpan pesan moral: politik sejati adalah pertemuan antara hati nurani dan rakyat. Rousseau pernah berkata, kehendak umum (general will) lahir dari suara rakyat, bukan dari kehendak pribadi atau kelompok tertentu. Dalam konteks itu, Hanura bermakna sebagai upaya untuk menjadikan politik sebagai perwujudan hati nurani kolektif bangsa.
Maka, ketika partai ini benar-benar konsisten dengan namanya, Hanura bukan sekadar partai, melainkan simbol politik yang berakar pada kemanusiaan, keadilan, dan kejujuran—suatu panggilan untuk kembali pada politik yang bermartabat.
Bagi saya, hati nurani adalah ruang sunyi tempat kebenaran berbisik. Ia bukan sekadar rasa atau pikiran, melainkan cahaya batin yang menuntun manusia dalam memilih jalan hidupnya. Banyak orang bisa pandai berbicara, lihai berargumentasi, bahkan cerdas mencari pembenaran, tetapi hati nurani tetap berdiri sebagai hakim yang paling jujur. Ia tidak bisa disuap dengan harta, tidak bisa ditundukkan dengan banyak membual, dan ia tidak bisa dimanipulasi oleh kata-kata manis.
Filsuf Jean-Jacques Rousseau pernah mengatakan bahwa “hati nurani adalah suara jiwa, suara kodrat yang tak bisa kita abaikan”. Bagi Rousseau, nurani adalah sumber moralitas yang lebih tinggi daripada hukum buatan manusia. Immanuel Kant pun mengingatkan kita bahwa manusia memiliki imperatif kategoris, yakni kewajiban moral yang bersumber dari akal budi praktis yang sejatinya tak lain adalah bisikan hati nurani yang menyerukan: bertindaklah sebagaimana engkau ingin itu menjadi hukum universal. Sementara itu, Thomas Aquinas menyebut hati nurani sebagai synderesis, yaitu kemampuan bawaan manusia untuk mengetahui kebaikan dan menjauhi keburukan.
Dalam setiap kehidupan kita, hati nurani sering hadir, selalu hadir dalam bentuk yang sederhana: rasa bersalah ketika kita menyakiti orang lain, rasa gelisah saat melakukan kebohongan, atau sebaliknya rasa damai ketika kita berlaku adil dan tulus. Hati nurani adalah kompas moral yang tak pernah rusak, meskipun kadang kita sengaja menutupinya dengan ambisi atau kepentingan. Hati nurani adalah cahaya yang membuat manusia tetap manusia. Ia mungkin kecil, tetapi tanpa cahaya itu, kita hanya berjalan dalam gelap.
Mari biarkan dirimu, diriku dan diri kita semua dituntun dengan terang Hati Nurani menuju kebenaran dan pengabdian tulus tanpa omong kosong.
Salam Hati Nurani.»
GARDAPLUS
Ungkapan “Orang Tolol Sedunia”, Bukti “Pengemis” Kekuasaan Khianati Rakyat

Oleh Gabriel Ola
(Rakyat Kabupaten Sikka, Tinggal di Maumere)
Akhir-akhir ini di jagat medsos ramai membincangkan berita terkait ungkapan anggota DPR RI dari Fraksi Nasdem, Ahmad Sahroni yang mengatakan “orang tolol sedunia” saat merespon tuntutan pembubaran DPR akibat kenaikan gaji 3 juta per-hari yang dianggap tidak memiliki rasa empati terhadap keadaan ekonomi rakyat yang sedang susah. Kondisi ini telah memantik demonstrasi di berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Solo, Makasar, Mataram, Kupang.
Pejabat publik tengah menampilkan degradasi etika komunikasi yang berpotensi melahirkan surutnya kepercayaan rakyat. Ketika pejabat publik mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati rakyat yang merupakan pemilik kedaulatan, sesungguhnya ia sedang menghina orang yang memberi kekuasaan kepadanya. Kerena dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undan dasar”. Kedaulatan di Indonesia dilaksanakan melalui sistim demokrasi perwakilan (representative democracy) artinya rakyat memilih wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan atas nama mereka.
Kerena amanah yang diberikan kepada Pemerintahan jauh dari harapan maka rakyat geram. Amarah rakyat muncul kerena sang “pengemis” kekuasaan mengingkari mandat yang telah diberikan bahkan menghina rakyat. Janji manis sang “pengemis” sirna ditelan kekuasaan dan harta. Rakyat yang pernah disanjung, dipuja bagaikan ratu dan raja saat Pemilu, kini dicap “orang tolol sedunia”. Sungguh miris. Sang “pengemis” kekuasaan lupa bahwa kekuasaan yang dimiliki diberikan untuk sementara kepadanya dan satu saat akan diambil kembali oleh pemiliknya.
Menelisik benang merah antara kebijakan nasional dan demonstrasi sebagai ungkapan kemarahan rakyat, penulis melihat ada tali temali yang perlu diungkap. Soal efisiensi anggaran misalnya. Ada rencana pengelolaan DAK dari beberapa kementerian bersifat sentralistik. Hal ini berpotensi melemahkan geliat ekonomi di tengah masyarakat. Kondisi ini membuat rakyat melihat bahwa otonomi daerah yang diberikan pemerintah pusat dikebiri sehingga kewenangan daerah semakin sempit, distel secara ketat dari pusat.
Kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintah pusat, mengakibatkan kurangnya DAU di pemerintah daerah. Oleh kerena itu pemerintah daerah terpaksa mengambil langka untuk menaikan pajak sebagai sumber keuangan untuk membangun daerah. Kebijakan ini justru membebankan rakyat. Di saat rakyat berjibaku dengan beban pajak yang mencekik, anggota DPR menari kegirangan kerena kenaikan gaji dan tunjangan. Rakyat sedih dan marah melihat perilaku anggota DPR yang tidak berempati dengan suasana batin rakyat sehingga mematik demonstrasi.
Pemerintahan yang ada sebenarnya cukup solid kerena didukung oleh koalisi besar dan kue kekuasaan di eksekutif telah dibagi ke partai-partai politik. Namun mengapa para anggota DPR mesti dininabobokan dengan gaji dan tunjangan yang begitu fantastis sehingga mereka akan secara bulat dan kuat mendukung kebijakan pemerintah saat ini. Hal ini kita lihat menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Kemewahan di atas penderitaan rakyat berpotensi terciptanya malapetaka, kerena jurang pemisah kehidupan ekonomi semakin lebar. Rakyat diminta kencangkan ikat pinggang, sementara DPR berfoya-foya.
Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik saat keputusan kenaikan gaji dan tunjangan DPR, yakni adakah anggota DPR yang tidak setuju dengan keputusan ini? Menurut penulis ada beberapa kemungkinan yang membuat anggota DPR menerima saja keputusan ini.

Ilustrasi : Masa berunjuk rasa di depan Polda Metro Jaya, Jakarta Jumat (29/8/2025). ANTARA
Pertama, konsekwensi dari koalisi gemuk akan cendrung melahirkan setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah selalu diaminkan apalagi untuk kepentingan besar koalisi mereka. Hal ini juga dipengaruhi oleh tidak adanya kekuatan pengimbang. Inilah sisi lemah dari koalisi gemuk. Tak ada kata perlawanan. Yang ada adalah kor setuju, kompromi di belakang layar. Kompromi seperti ini bisa buyar kalau diintip oleh rakyat. Ada perlawanan seperti yang terjadi saat ini.
Kedua, mungkin ada kelompok DPR tertentu mengetahui bahwa kenaikan gaji dan tunjangan ini berpotensi menciptakan amarah rakyat yang menjurus ke demonstrasi namun ada sikap pembiaran. Target kelompok DPR ini diboncengi kepentingan kelompok tertentu. Dengan muncul amarah rakyat sehingga tercipta suasana chaos yang akan menjadi pintu masuk untuk dikelola demi kepentingan politik yang lebih besar.
Ketiga, biaya politik yang sangat mahal untuk memperoleh kekuasaan memberi kontribusi yang signifikan bagi anggota DPR untuk mengumpulkan harta guna mengembalikan biaya politik. Rakyat yang lemah secara ekonomi telah menjadi lahan subur persemaian politik uang. Kerena itu pendidikan politik kritis bagi masyarakat sangat penting untuk menentukan pilihan politik yang tepat dan berkualitas. Terima uangnya jangan pilih orangnya. Inilah pesan yang sangat baik bagi rakyat yang selalu tergoda oleh rayuan “pengemis” kekuasaan. Kerena memilih DPR yang menggunakan politik uang akan memelihara perilaku hedonisme bahkan perilaku korupsi.
Mengembalikan posisi sumber kekuasaan negara, Trias Politika yakni eksekutif, legislatif, yudikatif ke jalur yang sesungguhnya adalah sebuah pekerjaan rumah kerena saat ini terkesan adanya kecenderungan saling subordinasi padahal kedudukan mereka adalah setara dalam tata kelola kahidupan berbangsa dan bernegara dengan perannya masing-masing.
Saat ini ada kecenderungan terjadi proses pelemahan di antara ketiga lembaga ini. Contoh indikasi proses pelemahan yakni adanya banyak jabatan politik di bidang eksekutif dipimpin oleh pimpinan partai politik. Dengan demikian para legislator akan kehilangan sikap kritis terhadap kebijakan eksekutif. Anggota DPR dan fraksi sebagai perpanjangan tangan partai akan lebih bersikap kompromistis karena pimpinan partainya duduk dalam jajaran eksekutif.
Kekuatan civil society saat ini menjadi garda terdepan dalam mewarnai dinamika politik. Ketika lembaga-lembaga tersebut di atas berada pada posisi saling menjaga kepentingan masing masing maka masyarakat sipil menjadi pelopor dalam mendobrak situasi yang merugikan kepentingan rakyat dan kepentingan demi bangsa dan negara.
Demonstrasi dibolehkan dalam sebuah negara, namun diharapkan tidak anarkis. Demonstrasi mesti murni tanpa ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Kondisi saat ini negara mesti hadir untuk melindungi rakyatnya agar tidak menjadi korban, tumbal dalam sebuah pergulatan kepentingan. Jatuhnya korban di pihak rakyat justru menjadi catatan kelam sejarah. Oleh kerena itu kita semua mesti bersatu untuk menenun kembali benang-benang persatuan dan kesatuan yang terurai agar Indonesia tetap berdiri tegak. Berhentilah menyakiti hati rakyat kerena hanya dengan kata “orang tolol sedunia” dapat mengoyak hati rakyat dan berpotensi membuka konflik politik kepentingan.
Kepada Ahmad Sahroni, cukup sudah kau sakiti hati rakyat. Kalau kita jumpa lagi di 2029 nanti rakyat akan mengadili engkau disana. Semoga!!!»
GARDAPLUS
Kompol Cosmas, Air Mata Seorang Prajurit yang Jadi Kambing Hitam

Oleh Karel Pandu
Air mata Kompol Cosmas Kaju Gae di ruang sidang kode etik Mabes Polri adalah potret getir seorang prajurit yang dikorbankan oleh institusi yang seharusnya melindungi. Kalimat lirihnya, “Saya hanya menjalankan perintah secara totalitas,” bukan sekadar pembelaan, melainkan jeritan hati seorang anak bangsa yang mengabdi, lalu ditendang keluar ketika badai datang.
Totalitas yang Dibalas Pemecatan
Cosmas bukan polisi sembarangan. Ia komandan, ia pemimpin pasukan, dan ia berdiri di garda depan saat demonstrasi pecah menjadi rusuh. Batu dilempar, bom molotov beterbangan, situasi chaos. Dalam kondisi itu, ia memilih satu hal: menjalankan perintah komando.
Bukankah inilah yang selalu ditanamkan kepada setiap prajurit? Loyalitas tanpa ragu, pengabdian tanpa pamrih, taat pada komando tanpa bertanya.
Namun ketika tragedi menimpa, ketika seorang warga sipil tewas terlindas rantis, tiba-tiba saja Cosmas bukan lagi simbol loyalitas—ia dijadikan kambing hitam.
Institusi Cuci Tangan, Prajurit Tumbang
Hukuman PTDH kepada Cosmas seolah menjawab tuntutan publik akan keadilan. Tetapi benarkah ini adil? Atau sekadar cara cepat institusi mencuci tangan?
Cosmas jelas menyatakan: ia tidak pernah berniat menabrak Affan. Ia bahkan baru mengetahui korban meninggal setelah video viral di media sosial. Dalam logika apa seseorang bisa disebut sengaja, jika bahkan tidak sadar akan peristiwa itu?
Namun publik sudah terlanjur marah, media sudah menghukum lewat headline, dan institusi memilih jalan paling mudah: buang prajurit, jaga citra.
Affan Korban, Cosmas Pun Korban
Kita tidak boleh melupakan Affan Kurniawan. Ia adalah korban nyata, anak bangsa yang gugur di jalan. Tetapi di balik itu, kita juga harus berani melihat: Cosmas pun korban—korban dari sistem yang menuntut totalitas, lalu mengorbankan mereka yang total.
Apakah adil jika semua beban dosa ditimpakan pada satu orang, sementara rantai komando di atasnya aman dari jerat tanggung jawab?
Suara dari Flores
Gelombang desakan warga NTT, khususnya Flores, agar Kapolri meninjau ulang putusan ini bukanlah sekadar solidaritas kedaerahan. Itu adalah jeritan rakyat yang melihat seorang putra daerah, yang mengabdi tanpa pamrih, dijatuhkan bukan karena niat jahat, melainkan karena ia terlalu taat.
Cosmas bukan hanya polisi. Ia simbol bagaimana sistem bisa menggilas anak buah demi menjaga wajah kekuasaan.
Penutup
Air mata Cosmas seharusnya menjadi tamparan bagi kita semua. Sebab di balik seragam dan pangkatnya, ia hanyalah manusia yang mengabdi, setia pada komando, dan kini dihukum karena kesetiaan itu.
Jika negara terus menjadikan prajurit sebagai kambing hitam, lalu siapa yang sebenarnya bertanggung jawab?
Dan lebih penting lagi: siapa yang kelak masih berani mengabdi dengan totalitas, jika akhirnya pengabdian hanya dibalas dengan pengkhianatan? Terimakasih.»
-
HUMANIORA2 months ago
THS-THM cetak 146 Pelatih dalam UKT se-Nusa Tenggara dan Timor Leste
-
HUMANIORA4 months ago
Semangat Pengabdian Aipda Hironimus T. Werang di Tengah Keterbatasan Fisik
-
HUKRIM2 months ago
Masuk Pekarangan Tanpa Izin, Delapan Staf BRI Cabang Maumere Dipolisikan
-
EKONOMI2 months ago
Anggota DPRD Sikka Desak Kadis Perindagkop Fokus Benahi Pasar Alok Sebelum Relokasi
-
HUKRIM3 months ago
Dua Terpidana Korupsi Dieksekusi Kejaksaan Negeri Sikka
-
HUKRIM3 months ago
Kejari Sikka Hentikan Penuntutan Kasus Pencurian Melalui Mekanisme Restorative Justice