Judul : Intelijen & Pilkada Pendekatan Strategis Menghadapi Dinamika Pemilu Penulis : Stepi Anriani Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Tahun Terbit : 2018 Tebal Buku : xv + 223 halaman |
Buku ini bukan buku baru. Buku ini sudah terbit 6 tahun lalu. Tepatnya pada awal April 2018. Atau hanya sekitar 2 (dua) bulan menjelang hari H Pilkada Serentak pada 27 Juni 2018.
Ketika diluncurkan kala itu, Pilkada Serentak sedang bergulir dan melibatkan 17 Provinsi serta 154 Kabupaten/Kota. Saat itu bertepatan dengan tahapan kampanye.
Pilkada Serentak 2018 merupakan gelombang ke-3 atau terakhir dari pengelolaan Pilkada Serentak. Gelombang pertama telah dilaksanakan tahun 2015 yang diikuti oleh 9 Provinsi dan 260 Kabupaten/Kota. Sementara gelombang kedua tahun 2017 diikuti oleh 7 Provinsi dan 94 Kabupaten/Kota.
Karena bertepatan dengan tahapan kampanye ketika itu, sangat boleh jadi, buku ini kurang mendapat perhatian yang semestinya. Pasalnya, tim sukses dari para calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota sangat sibuk beradu taktik dan strategi dalam berbagai metode kampanye.
Kini setelah 6 tahun dan menyongsong Pilkada Serentak yang bakal digelar pada 27 November 2024 mendatang, patut diduga banyak kalangan yang sudah membaca buku ini. Jika belum membacanya, sekarang adalah saat yang tepat untuk segera mengambil tindakan. Ihwalnya, karena buku ini menawarkan pendekatan alternatif untuk meraih kemenangan dalam Pilkada.
Testimoni yang kuat terhadap pentingnya buku ini antara lain disampaikan oleh Prof Dr. Moh. Mahfud MD. Pada sampul belakang buku berwarna ungu ini, Mahfud menulis: “Orang awam kerap kali memandang kegiatan intelijen menakutkan karena sering dilihat dan diopinikan sebagai instrumen kekerasan politik oleh negara terhadap rakyatnya.”
Padahal, lanjut Mahfud, “Intelijen adalah instrumen negara untuk menjaga eksistensi dirinya agar tetap berdaulat, aman, dan nyaman dihuni oleh rakyatnya. Melalui buku ini, Stepi Anriani menyajikan kajian akademis ilmiah bahwa intelijen bukanlah akvitas kejahatan oleh alat negara, melainkan bidang ilmu yang bisa dimanfaatkan demi kebaikan oleh siapa pun.”
Bahkan, ujar Mahfud yang kala itu diberi predikat sebagai mantan Menteri Pertahanan dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, “Melalui buku Intelijen dan Pilkada ini, Stepi menawarkan intelijen sebagai alat dan cara untuk memenangkan persaingan dalam Pilkada. Stepi Anriani berhasil menulis buku ini dengan baik karena selain mempunyai latar belakang akademis yang kuat, ia juga kaya pengalaman di bidang inteljen”.
Mantan Ketua STIN (Sekolah Tinggi Intelijen Negara) Dr. Rer. Pol, Rodon Pedrason, MA (Saat itu masih berpangkat Brigjen TNI) juga ikut memberi komentar. Menurutnya, buku ini layak menjadi smart book untuk praktik politik yang akuntabel (halaman viii).
Testimoni lain datang dari Wajid Fauzi, saat itu sebagai Duta Besar RI untuk Yaman, juga Staf Ahli Bidang Humaniora dan Ketua Pokja Pemilu Luar Negeri 2018, di Kementrian Luar Negeri. Fauzi berkomentar: “Tidak banyak publikasi tentang intelijen yang beredar luas di masyarakat apalagi jika dikaitkan dengan Pilkada. Buku ini membuka mata kita tentang seluk beluk intelijen yang ternyata penting kita ketahui, termasuk dalam mewarnai tata kelola Pilkada agar lebih baik” (halaman viii).
Buku ini dikemas dalam 7 Bab. Pada Bab I, Stepi Anriani memperkenalkan apa itu intelijen. Lulusan S1 dari Universitas Padjajaran, Bandung dan S2 dari Universitas Indonesia ini membahas topik ini dalam 8 {delapan) sub-topik. Mulai dari Intelijen sebagai Informasi, sebagai pengetahuan, sebagai produk, dan Intelijen sebagai kegiatan. Pada sub topik ini, Stepi merinci lagi bahasannya. Intelijen sebagai kegiatan itu dibahas lagi dalam 5 (lima) poin penting meliputi penelitian intelijen, kontra intelijen, operasi intelijen, spionase dan penyamaran.
Penulis tesis S2 berjudul: “Kontra Intelijen Indonesia dalam Menghadapi Gerakan Papua Merdeka” ini melengkapi bahasan pada Bab I ini dengan 4 sub-topik lagi. Masing-masing Intelijen sebagai proses, intelijen sebagai organisasi, dan intelijen sebagai profesi (agen atau analis). Ia menutup Bab I ini dengan memaparkan apa saja tugas, peran dan fungsi intelijen.
Pada Bab II diberi judul: Mempelajari Intelijen. Mantan staf khusus Kepala Bais (Badan Intelijen Strategis) ini memulai uraiannya dengan memanggungkan “Ancaman Megatred 2030”. Stepi mendasari uraian tersebut pada rilis NIC (National Intelligence Council), sebuah lembaga think tank dari komunitas Intelijen Amerika pada tahun 2012 dengan judul: Global Trends 2030: Alternative Worlds.
Dalam laporan NIC ini disebutkan, pada 2030 tidak ada satu negara pun yang menjadi kekuatan hegemonik. Penyebabnya adalah empat megatrend yaitu pemberdayaan individu, penyebaran kekuatan, pola-pola demografis serta hubungan pangan, energi dan air.
“Keempat hal ini membuat adanya persimpangan kritis dalam sejarah manusia. Manusia antarnegara harus mengalami persaingan dan kompetisi untuk bertahan hidup dengan pola-pola yang tidak seimbang”, tulis Stepi (halaman 47).
Selanjutnya, pada Bab II tersebut, perempuan penyuka kopi ini memaparkan tentang perlunya belajar intelijen dari tokoh-tokoh masa lalu. Ada tiga sub-topik yang dibahas. Yaitu belajar dari Kerajaan, belajar dari wanita dan belajar dari legenda.
Pada sub topik belajar dari Kerajaan, Stepi menyebut dua nama yakni Ken Arok dan Sun Tzu, seorang jendral perang dan penulis buku Art of War dari China. Nama Ken Arok pastilah tidak asing. Tokoh ini berhasil merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung karena melakukan kegiatan intelijen atau telik sandi secara cermat. Mulai dari pengumpulan data, pengamatan lapangan, pengintaian, siasat dan propaganda.
Pada sub topik belajar dari wanita, Stepi menyebut 2 figur perempuan yang sangat terkenal dalam dunia spionase pada masa perang dunia pertama yakni: Matahari dan Tokyo Rose. Kisah kedua wanita ini sangat menarik. Matahari misalnya, pernah tinggal di pulau Jawa, kemudian kembali ke Belanda. Setelah memilih jalan untuk menjadi mata-mata, Matahari kemudian menjadi agen spionase Perancis juga Jerman alias agen ganda.
“Matahari memberi pesan bagi intelijen wanita untuk menjalani kodratnya. Tidak harus menjadi seperti pria, namun tetap menjadi makhluk yang lembut gemulai dengan “dialog bantalnya” dan akhirnya menaklukan banyak pria yang berpengaruh. Kisah hidup Matahari yang tragis merupakan pembelajaran akan resiko menjadi double agent atau agen ganda” (halaman 81).
Masih di Bab II, pada Sub topik belajar dari legenda, Stepi yang pernah mengajar di STIN (2015 – 2023) menyebut dua nama terkenal dalam dunia intelijen di masa Orde Baru yakni: Ali Murtopo dan LB Murdani.
Tentang Letjen Ali Murtopo, Stepi antara lain mengatakan, “Ali bisa dibilang memegang peran krusial. Ia memuluskan proses naiknya Presiden Seoharto ke tampuk kekuasaan yang tertinggi di negeri ini dengan mengondisikan gerakan mahasiswa, menjegal mereka yang berseberangan dengan Soeharto dan mengawal pemerintahan baru agar bisa mulai bekerja tanpa gangguan” (halaman 85).
Sementara tentang Jendral LB Murdani, ia menulis “Benny berjasa besar menopang kekuasaan Soeharto, menyimpan landasan dasar karakter intelijen yang selalu diingat. Sang legenda intelijen ini merupakan anak emas Soekarno dan Soeharto” (halaman 88).
Selanjutnya pada Bab III, Stepi memaparkan tentang Pilkada tahun 2015 dan 2017. Pada Bab IV, ia menyoroti Penyakit Pemilu, khususnya Money Politic dan pada Bab V ia menyoroti Kekuatan Media Sosial.
Pada Bab V tentang Kekuatan Media Sosial, ada tiga sub topik yang dibahas. Yakni media sosial sebagai arena baru kampanye, generasi milenial penguasa medsos dan memperebutkan suara milenial.
Inti dari buku Intelijen dan Pilkada ini dibahas pada Bab VI dan VII. Pada Bab VI, Stepi memberi judul: Pendekatan Intelijen: Memenangkan Pilkada Tanpa Kecurangan. Sementara Bab VII diberi judul: Menguatkan Kandidat.
“Salah satu pendekatan intelijen adalah ketika berkaitan dengan penentuan tim sukses, penebaran isu atau program, penggalangan massa, marketing politik, mobilisasi massa dan pengawasn hasil suara sampai proses penetapan pemenang. Hal-hal ini jika dilakukan dengan rencana yang baik dan pemahaman yang sama antarkandidat dan tim sukses tentunya akan lebih mudah dalam mencapai kemenangan” (halaman 173).
Pada dua Bab terakhir ini, penulis membahas cukup rinci apa saja yang harus dilakukan oleh kandidat dan tim sukses dengan pendekatan intelijen. Sebuah pendekatan alternatif untuk memenangkan Pilkada.
Buku ini, walau bukan buku baru, sangat penting terutama bagi para bakal calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota bersama Tim Sukses masing-masing dalam mempersiapkan diri menyongsong Pilkada yang semakin mendekati tahapan pendaftaran calon, penetapan calon dan selanjutnya tahapan kampanye.
Buku ini tidak hanya pantas dibaca oleh para politisi, tetapi juga oleh para aktivis dan mahasiswa. Para penyelenggara Pemilu pun kiranya perlu membaca buku ini untuk memperluas cakrawala.»(feri soge)